Artikel/DLL
TEKNIK DAN STRATEGI PEMANTAU DI DALAM DAN DI LUAR PERADILAN
Oleh : H. ADI WARMAN, SH., MH., MBA. *)
A. PENDAHULUAN
Peradilan adalah garda terakhir bagi masyarakat pencari keadilan, karena Hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi, hal ini tercermin dari setiap putusan Hakim yang selalu dimulai dengan kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Namun dalam peraktiknya justru kinerja penegak-hukum di pengadilan terkontaminasi dengan korupsi yang biasa kita kenal dengan istilah “Mafia Peradilan”. Dimana mafia peradilan bukan hanya melibatkan Hakim baik secara langsung atau Pegawai peradilan tetapi juga melibatkan pihak lain baik itu para pihak dalam persidangan suatu perkara yaitu : Terdakwa, Tergugat dan Penggugat juga Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang member atau yang menyuap.
Bertolak dari fakta diatas, maka dalam rangka menegakan supremasi hukum di Indonesia otomatis institusi yang adalah garda terdepan dalam penegakan hukum harus dikawal kinerjanya, agar peradilan benar-benar dapat menjalankan fungsinya secara tepat, benar, jujur, dan tidak memihak kepada suatu golongan atau pihak tertentu tetapi hanya berpihak kepada keadilan dan kebenaran bukan pembenaran.
Munculnya mafia peradilan karena adanya pihak yang berperkara ingin mencari pembenaran dalam suatu kasus yang menimpanya, sehingga dengan berbagai cara dan upaya agar pihak tersebut dapat mencapai target yang diinginkannya maka pihak tersebut bersedia memberikan apa yang diinginkan oleh hakim yang akan memutus perkara tersebut, sehingga tercapai apa yang diinginkannya.
Untuk memerangi adanya mafia peradilan tersebut kita perlu mengawal peradilan di Indonesia dengan cara pemantauan peradilan baik di dalam maupun di luar peradilan. Dalam hal pengawalan proses peradilan, sebenarnya telah ada suatu pengawasan internal yang dilakukan oleh lembaga peradilan baik dari tingkat pertama sampai ke Mahkamah Agung namun dalam kenyataannya pengawasan internal tersebut tidak bisa kita harapkan disebabkan beberapa hal antara lain:
Kualitas dan integritas pemantau/pemantau yang tidak memadai.
Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan.
Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses).
Semangat membela sesama korps (Esprit De Corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu.
Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pemantauan.
Tidak mempunyai kekuatan rill didaerah dan sangat bergantung pada pemerintah/negara (terutama dalam hal keuangan).
Berdasarkan Pasal 39 UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pengawasan internal prilaku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung RI, yang bunyinya sebagai berikut :
“(1) Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan.
(3) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(4) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara”.
Berdasarkan Keputusan Ketua MA No. KMA/005/SK/III/1994 tentang Pengawasan dan Evaluasi atas hasil Pengawasan oleh MA RI, pengawasan yang dilakukan oleh MA RI meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Teknis peradilan;
b. Administrasi Pengadilan;
c. Perbuatan dan Tingkah laku hakim serta petugas pengadilan (diluar maupun didalam lingkungan dinas.
Sejalan dengan lemahnya kinerja dari lembaga pemantauan internal dalam mengontrol kerja-kerja dari institusi peradilan, maka dalam era reformasi dibentuklah suatu komisi yang berfungsi memantau peradilan di Indonesia yaitu Komisi Yudisial RI, dan untuk membantu peran Komisi Yudisial maka diperlukan peran aktif masyarakat sipil untuk menjalankan tanggungjawabnya sebagai pemantau eksternal dalam membantu Komisi Yudisial RI, kewenangan Komisi Yudisial RI tersebut diatur dalam Pasal 40 UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 40
(1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim”.
Adapun dasar adanya pemantauan di Pengadilan dapat dilihat melalui SEMA No. 6 tahun 2001 dimana isinya mengenai “Mendengar Pengaduan Pelapor”, dalam hal ini maka terdapat kebutuhan akan adanya pemantau yang dapat memberikan laporan tentang perilaku yang tidak baik atau penyalahgunaan kekuasaan oleh Hakim atau Pejabat Pengadilan lainnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pihak yang harus dilakukan pemantauan adalah hakim dan atau pejabat pengadilan lainnya seperti Panitera Pengganti, Juru Sita dan Pegawai Pengadilan lainnya. Khusus untuk Hakim bila kita menemukan penyimpangan prilaku hakim maka kita dapat melakukan pengaduan ke Komisi Yudisial RI, namun untuk pejabat pengadilan lainnya seperti Panitera Pengganti, Juru Sita dan Pegawai Pengadilan lainnya, kita tidak bisa berharap banyak karena upaya kita lakukan hanya kepada lembaga internal pengadilan tersebut karena Komisi Yudisial RI tidak dapat memeriksa mereka, maka untuk prespektif yang akan datang kewenangan Komisi Yudisial RI hendaknya juga mencakup penyimpangan prilaku pejabat pengadilan lainnya seperti Panitera Pengganti, Juru Sita dan Pegawai Pengadilan lainnya.
B. PENGERTIAN PEMANTAU PERADILAN
Pemantauan peradilan adalah merupakan suatu proses kegiatan pengumpulan data/fakta-fakta peristiwa atau kejadian dalam proses peradilan secara murni, faktual dan objektif. Kegiatan pemantauan sama halnya dengan melakukan suatu kegiatan penelitian, dimana yang dimaksud dengan penelitian adalah , suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala, dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh fakta tersebut, dimana kedudukan yang memantau tidak harus lebih tinggi dari yang dipantau.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah diperoleh lalu dianalisa sehingga tergambarkan apa permasalahan dalam penegakan hukum, yang hasilnya bisa dipertanggung jawabkan baik secara ilmiah maupun secara hukum, sehingga hasil dari pemantauan tersebut bukanlah suatu opini belaka, dengan demikian prinsip dari Pemantauan peradilan bukanlah untuk membangun opini tetapi untuk menemukan fakta-fakta dalam penegakan hukum dalam system peradilan kita. Pemantauan dilakukan oleh suatu badan atau orang tertentu.
Bahwa pemantauan berbeda dengan Pengawasan, dimana yang dimaksud dengan Pengawasan adalah suatu pengevaluasian kinerja yang biasanya dilakukan oleh atasan kepada bawahannya atau dilakukan oleh suatu badan yang tersebut dalam struktur organisasi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan tersebut, dimana hasilnya akan bermuara pada suatu prestasi atau hukuman yang diberikan oleh atasan kepada bawahan.
C. APSAJA YANG DILAKUKAN PEMANTAUAN DALAM PEMANTAUAN PERADILAN
Bahwa selain sikap dan prilaku hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara juga yang perlu dilakukan pemantauan adalah untuk melihat sejauh mana pemahaman aparat penegak hukum dalam melaksanakan aturan hukum acara dan hukum materiil yang sedang diperiksa, diadili dan diputus tersebut.
D. TEKNIK PEMANTAUAN PERADILAN
Kegiatan pemantauan yang tidak berbeda dengan upaya pencarian dan pengumpulan fakta, maka teknik pemantauan juga tidak berbeda dengan teknik pencarian dan pengumpulan fakta. Macam teknik pencarian dan pengumpulan fakta yang sangat umum dikenal adalah :
• Mendatangi secara langsung lokasi penyelenggaraan proses peradilan dengan melakukan observasi (pengamatan langsung) dan atau interview (wawancara).
• Mengumpulkan data sekunder, seperti materi-materi tertulis, bahan-bahan atau informasi lain yang berkaitan dengan objek pantauan.
• Menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat terhadap kejadian, peristiwa yang berkaitan dengan pelanggaran/kecurangan dalam proses kegiatan pemantauan.
• Melakukan kegiatan pengecekan ulang terhadap informasi yang perlu di verifikasi.
E. STRATEGI PEMANTAUAN PERADILAN
Pemantauan dapat dilakukan dengan 2 strategi yaitu Pemantauan secara tidak langsung dan pemantauan secara langsung. Pemantauan secara tidak langsung dapat dilakukan penganalisaan terhadap fakta-fakat dan bukti-bukti (data-data) yang telah diberikan oleh masyarakat, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang bersifat ilmiah dan ini juga dapat dilakukan dalam bentuk eksaminasi terhadap putusan peradilan. Pemantauan secara langsung dapat dilakukan baik didalam maupun diluar peradilan. Pemantauan secara langsung dapat dilakukan terhadap sikap hakim selama memeriksa perkara apakah netral/tidak berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara, ucapan tingkah laku dan sikap hakim dalam memeriksa perkara sebagaimana diatur dalam KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DAN KETUA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan NOMOR : 02/SKB/P.KY/IV/2009 TENTANG KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM dan dapat juga sejauhmana pemahaman aparat penegak hukum dalam melaksanakan aturan hukum acara dan hukum materiil yang sedang diperiksa, diadili dan diputus tersebut, sedangkan pemantauan diluar persidangan dapat dilakukan terhadap prilaku hakim dalam berhubungan dengan pihak yang berperkara karena hakim dilarang bertemu dengan pihak yang sedang berperkara dimana hakim tersebut adalah sebagai hakim yang memeriksa perkara tersebut. Pertemuan hakim dengan pihak yang sedang berperkara diluar persidangan dapat dilakukan secara langsung atau juga tidak langsung yaitu melalui anggota keluarganya dan/atau orang-orang yang telah dipercaya hakim tersebut.
F. PERSIAPAN SEBELUM MELAKUKANPEMANTAUAN
Dalam melakukan pemantauan peradilan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dan dicermati, baik itu sebelum melakukan pemantauan, pada saat pemantauan maupun setelah pemantauan. Hal yang harus dicermati dalam melakukan pemantauan adalah sebagai berikut:
a. Persiapan Pendahuluan, meliputi:
Persiapkan segala bentuk perlengkapan dalam melakukan pemantauan, seperti: Tape recorder, kaset, battery, ballpoint, kertas atau Blocknote, identitas pemantau atau identitas lain yang menunjukan pemantau berasal dari GN-PK.
Pastikan bahwa Tape recorder dalam keadaan baik, battery dalam keadaan baik dan telah berada dalam tempat battery di Tape recorder, pastikan bahwa kaset yang anda bawa dapat berfungsi dengan baik dengan melakukan test terlebih dahulu sebelum memulai perekaman.
Pastikan bahwa anda tahu atau paham jalan menuju pengadilan atau lembaga peradilan lain yang akan dilakukan pemantauan.
Ketika tiba di pengadilan lakukan pemeriksaan terhadap jadwal sidang hari tersebut dan hari-hari lain (bila tersedia) yang akan berlangsung, lakukan pencatatan sidang mengenai apa, menyangkut siapa dan nomor perkara tersebut, serta pada tahap apa sidang akan dilakukan pada ruangan yang mana (perhatikan form pemantauan).
Setiba di ruangan, pastikan tape recorder dalam keadaan baik, lalu lakukan perekaman. Selama perekaman berjalan, tetap lakukan pencatatan sebagai back up apabila terjadi kerusakan dalam recorder (tanamkan dalam diri anda bahwa jangan pernah percaya teknologi 100 %).
Usahakan melakukan pendekatan secara pribadi dengan para pihak yang terkait (panitera, hakim, jaksa, pengacara) dalam persidangan sehingga mempermudah pemantau untuk mendapatkan berkas perkara serta informasi lainnya yang berkaitan dengan hal yang dipantau.
Setelah pemantauan dilakukan, segera dibuat transkip pemantauan dengan memperhatikan format laporan pemantauan (laporan dibuat dengan menyertakan berkas perkara yang ada pada saat sidang tersebut).
b. Persiapan Kegiatan Pemantauan, meliputi hal-hal sebagai berikut :
Siapkan referensi tulisan mengenai hal yang akan dipantau (UU, pendapat ahli, Yurisprudensi).
Harus di upayakan mendapat jawaban 5 W + H (apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana) yang berkaitan dengan objek pemantauan.
Jika mendapatkan informasi hendaknya melakukan ricek (cek ulang ) dan cros cek antara temuan dengan hubungannya dengan aktivitas pemantauan.
Jika dalam temuan terdapat pelaku/subjek yang membantah tetapi tidak memiliki keyakinan bahwa sungguh-sungguh terjadi sesuatu, perlu di peroleh minimal dua saksi yang betul-betul bersedia menjadi saksi.
Relawan atau pemantau harus mendapatkan dan mengamankan alat-alat bukti dari suatu pelanggaran atau penyimpangan.
Mengamati dan mencatat terhadap apa yang dilihat dan didengar secara sendiri dan langsung, tidak dengan perantaraan pihak lain (monitoring de auditu)
c. Bagaimana Cara memperoleh informasi dan menemukan Fakta?
Mengenal terlebih dahulu daerah atau tempat atau lokasi yang akan dipantau dengan tepat dan benar, kenali tempat lokasi dengan mengetahui jalur kendaraan umum menuju ke tempat lokasi atau jalan menuju tempat pemantauan.
Telah mempunyai kontak pribadi atau kenalan dilokasi dimana dilokasi ia bertugas.
Berpenampilan yang sopan dan santun, baik dalam berpakaian maupun dalam berperilaku.
Bersikap ramah dan hormat terhadap orang di sekitar lokasi maupun terhadap calon nara sumber.
Membangun hubungan baik dengan orang-orang yang menjadi sumber informasi, key person, dan tokoh masyarakat.
Menyusun target, sasaran dan langkah-langkah yang akan ditempuh dan jumlah waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan.
Mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan fokus pemantauan atau peristiwa yang terjadi dalam proses peradilan.
G. Etika selama melakukan pemantauan peradilan
Selama melakukan pemantauan peradilan, selain harus memperhatikan hal-hal yang harus dicermati dan diamati sebelum pemantauan, pada saat pemantauan Peradilan ataupun setelah pemantauan Peradilan, maka seorang pemantau Peradilan harus berpegang teguh pada etika, yaitu sebagai berikut:
1. Hindari benturan kepentingan yang dapat mengurangi obyektifitas pemantauan yang akan dilakukan, misalnya memiliki hubungan dekat, baik itu dalam kerangka keluarga atau pertemanan dengan salah satu pihak yang akan dipantau dalam persidangan.
2. Jangan pernah mendekati atau mencari kesempatan yang mengarah pada pemberian suap untuk membuat laporan yang tidak sesuai dengan fakta yang berhasil dipantau.
3. Hindari pembuatan laporan pemantauan yang berasal dari tangan kedua atau dengan lain perkataan pemantauan harus dilakukan secara langsung.
4. Kembangkan kepekaan terhadap kondisi atau situasi dalam persidangan atau diluar ruang sidang dan lakukan investigasi atas kemungkinan terjadinya pelanggaran (baik itu pelanggaran proses maupun pelanggaran perilaku).
5. Lakukan hubungan yang intensif dengan sesama pemantau dan adakan diskusi secara berkala untuk mengembangkan prosedur pemantauan.
6. Bersikap dan bertindak tanduk dalam koridor prinsip pemantauan organisasi dengan tetap menjaga nama baik organisasi.
7. Laporan dibuat dengan apa adanya sesuai dengan fakta yang ada tanpa melibatkan asumsi atau pandangan pribadi pemantau.
*)Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GN-PK) Pusat
TINJAUAN YURIDIS
TENTANG PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
1. PENDAHULUAN
Reformasi di bidang hukum perburuhan ditandai dengan perubahan yang sangat signifikan dalam penyelesaian perselisihan perburuhan. Penyelesaian perselisihan yang sebelumnya melalui badan administrasi negara beralih ke peradilan khusus dalam lingkungan peradilan umum, disamping penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase (penyelesaian di luar pengadilan). Perubahan yang signifikan tersebut memberikan kebebasan kepada pekerja dan pengusaha untuk memilih sendiri cara penyelesaian perselisihan diantara mereka, apakah diluar pengadilan atau melalui Pengadilan Hubungan Industiral (PHI).
Kemajuan teknologi industri, telah mempengaruhi kompleknya perselisihan dalam hubungan antara pekerja dengan pengusaha. Bahkan dalam hubungan antarserikat pekerja. Persoalannya adalah bagaimana perselisihan itu diselesaikan sehingga dapat memberikan kepastian hukum yang berkeadilan bagi pekerja dan pengusaha. Dalam hubungan itu, pembentukan PHI sebagai pengadilan khusus yang tertunda selama hampir 2 (dua) tahun sejak disahkanya UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sudah merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda lagi. Kepastian hukum yang berkeadilan itu harus diwujudkan dengan segera, karena perselisihan yang berkepanjangan akan mempengaruhi proses produksi bagi pengusaha dan mengganggu perekonomian keluarga pekerja. Oleh sebab itu pembentukan PHI pada bulan Februari 2006, sudah tidak dapat ditunda. Apalagi perselisihan perburuhan diyakini akan marak setelah kenaikan harga BBM, karena akan mendorong pekerja untuk menuntut perbaikan upah, sebaliknya pengusaha menanggung beban tambahan biaya produksi.
Dibentuknya Peradilan hubungan Industrial karena penyelesaian perkara ketenagakerjaan/perburuhan selama ini dirasakan belum mewujudkan penyelesaian secara cepat, tepat, adil dan murah. Penyelesaian perkara ketenagakerjaan/perburuhan selama ini yang didasarkan pada Undang-undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan hanya mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara kolektif, sementara perkara PHK secara perseorangan tidak diatur, demikian pula setelah Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara perkara PHK yang telah diputus oleh P4P (Panitian Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) menjadi obyek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga dengan demikian pekerja/buruh yang semula bersengketa dengan pengusaha berubah menjadi bersengketa dengan penguasa (P4P) yang merupakan pejabat tata usaha Negara, sehingga hal ini menimbulkan ketidak adilan seolah-olah pengusaha adalah bagian dari penguasa. Maka berdasarkan hal tersebut dibentuklah Peradilan Hubungan Industrial dengan tujuan untuk mewujudkan peradilan yang cepat, tepat, adil dan murah
Hukum acara Peradilan Hubungan Industrial adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara dalam menyelesaikan perkara perselisihan hubungan industrial. Hal ini sejalan dengan pengertia Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 butir 17 jo. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah Pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
2. TUJUAN
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan mengkaji Proses.
3. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ?
4. METODE PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode penelitian yang digunalkan adalah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada . Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Digunakan pendekatan kualitatif oleh penulis bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti. Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik azas-azas hukum (Rechsbeginselen) yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis.
Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 macam bahan pustaka yang dipergunakan oleh penulis yakni :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam penulisan ini yakni:
a) HIR (Het Herziene Indonesich Reglement atau Reglemen Indonesia Baru).
HIR memuat hukum acara pidana dan perdata, namun khusus hukum acara pidana telah dicabut dengan berlakunya Undang-undang no. 8 Tahun 1981 Tentang Kitap Hukum Acara Pidana. Dalam HIR Hukum acara perdata diatur dalam Bab IX dan sebagian Bab XV. HIR adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk pengadilan di seluruh Pulau jawa dan Madura.
b) RBg (Reglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 No.: 227).
RBg adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk wilayah Indonesia yang berada di luar pulau jawa dan madura. Saat ini bagian RBg yang masih berlaku adalah Bab II title IV dan V.
c) Rv. (Reglement op de burgelijke rechtsvorderingvoorde raden van Justitie opa Java en het hoogerechtshof van Indonesie, alsmede voor de risidentiegerechtenop Java en Madura).
RV seharusnya sudah tidak berlaku lagi dengan telah dihapusnya Raad van Justitie dan Residentiegerecht, karena Rv. Adalah hukum acara yang berlakubagi golongan eropa dan mereka yang disamakan dengan golongan eropa untuk beracara dimuka Raad van Justitie dan Residentiegerecht, namun dalam perakteknya masih tetap berlaku. Dengan demikian menurut penulis hendaknya segala hal yang diatur dalam RV bila bertentangan dengan HIR dan RBg maka yang berlaku adalah HIR dan RBg.
d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
e) Undang-Undang lainnya.
f) Yurisprudensi, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah doktrin–doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan tersebut di atas, yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah:
1. Pendekatan undang-undang (statute approach).
2. Pendekatan kasus (case approach).
3. Pendekatan historis (historical approach).
4. Pendekatan komparatif (comparative approach).
5. Pendekatan konseptual (conceptual approach).
Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang berkaitan dengan Permasalahan. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan ini, yang telah menjadi putusan pengadilan.
5. PEMBAHASAN
5.1. Kompetensi Peradilan Hubungan Indsustrial
Berkaitan dengan kopetensi peradilan dapat digolongkan menjadi dua yaitu kekuasaan atribusi (atributie van rectsmacht) atau yang biasa disebut kompetensi absolute dan kekuasaan distribusi (distributie van rectsmacht) atau yang biasa disebut kompetensi relatif.
A. Kompetensi Absolut
Kompetensi Absolut adalah kewenangan mengadili berdasarkan jenis perkara yang hanya dimiliki oleh pengadilan tersebut dan tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain. Bila suatu gugatan salah kompetensi absolutnya maka apa bila ada keberatan/eksepsi dari Tergugat/Para Tergugat/Turut Tergugat atau hakim karena jabatannya walaupun tidak ada keberatan/eksepsi dari Tergugat/Para Tergugat/Turut Tergugat dapat dapat menolak gugatan yang diputus dalam putusan sela. Tentang kompetensi absolute pengadilan dalam lingkungan Peradilan Hubungan Industrial adalah perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan mengenai kepentingan, perselisihan pwemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Berdasarkan pengertian tersebut di atas dan juga sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 jo. 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial maka jenis-jenis perselisihan hubungan industrial terdiri dari yaitu :
a) Perselisihan Hak
Yang dimaksud Perselisihan Hak dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Sehingga dengan demikian perselisihan hak timbul karena adanya perbedaan pelaksanaan dan penafsiran terhadap hak-hak normatif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dan kepentingan mengenai hak-hak tersebut.
Pengadilan Hubungan Industrial berwenang memeriksa dan memutuskan untuk tingkat pertama, dan pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Hubungan Industrial dapat melakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung.
b) Perselisihan Kepentingan.
Yang dimaksud Perselisihan Kepentingan dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai perbuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Dari perselisihan kepentingan tampak bahwa antara pekerja/buruh dengan pengusaha mempunyai hak dan peran yang sama dalam membuat perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sehingga dalam membuat dan merubah perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama buruh tidak lagi pasif, dengan demikian perselisihan kepentingan hanya mengenai pembuatan atau perubahan perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dalam hubungan kerja. Perselisihan hak timbul karena antara pekerja/buruh dengan pengusaha mempunyai kepentingan yang berbeda, sehingga dalam membuat dan merubah perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama seringkali tidak dapat menyatukan kedua kepentingan yang berbeda tersebut, sehingga dibutuhkan pihak ketiga yang bisa menjembatani kedua kepentingan tersebut, disinilah peran lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial baik itu melalui jalur litigasi maupun non litigasi.
Pengadilan Hubungan Industrial berwenang memeriksa dan memutuskan untuk tingkat pertama. dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan, sehingga terhadap putusan dalam perkara perselisihan kepentingan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi, kecuali upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali.
c) Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Yang dimaksud Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yaitu Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dengan demikian pengakhiran hubungan kerja dapat dilakukan oleh salah satu pihak baik pekerja/buruh maupun pengusaha. Pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh biasa disebut dengan mengundurkan diri dari perusahaan, sedangkan pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha biasa disebut dengan Pemutusan hubungan Kerja (PHK).
Pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena mengundurkan diri maka Pekerja atau buruh harus memenuhi syarat-syarat yaitu : mengajukan permohonan selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mengundurkan diri, pekerja/buruh tersebut tidak dalam ikatan dinas, pekerja atau buruh tersebut harus tetap melakukan pekerjaannya sampai tanggal pengunduran dirinya (Vide Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Pekerja yang mengundurkan diri mendapatkan hak-haknya yaitu Uang penghargaan masa kerja dan uang ganti rugi atau uang pengganti hak.
Pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh Pengusaha yang lazim disebut PHK harus dilakukan perundingan terlebih dahulu dengan serikat pekerja/serikat buruh atau langsung dengan pekerja/buruh bila pekerja/buruh tersebut tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Bila perundingan tidak tercapai kata sepakat maka PHK dapat dilakukan pengusaha setelah mendapat penetapan dari Pengadilan hubungan industrial, bila PHk dilakukan pengusaha tanpa penetapan dari Pengadilan hubungan Industrial maka PHK tersebut batal demi hukum.
Slelama proses permohonan penetapan PHK tersebut pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya masing-masing, dimana pekerja/buruh tetap bekerja dan pengusaha tetap membayar gaji pekerja/buruh tersebut. Dalam hal ini Pengusaha dapat menskorsing Pekerja/buruh namun pengusaha harus tetap membayar gaji dan hak-hak buruh sampai adanya penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
Apabila PHK dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial maka pekerja/buruh mendapatkan hak berupa uang pesangon, uamg penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak atau uang ganti rugi.
Pengusaha dapat juga melakukan PHK karena Pekerja/buruh melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan telah mendapat peringatan sebanyak tiga kali, dalam hal ini pekerja/buruh mendapatkan hak berupa uang pesangon, uamg penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak atau uang ganti rugi.
Pengusaha dapat melakukan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, adapun yang dimaksud dengan kesalahan berat adalah sebagaimana yang dikategorikan dalam 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut :
- Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan atau uang milik perusahaan;
- Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
- Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktiflainnya di lingkungan kerja;
- Melakukan perbuatan asusila atau perjudian dilingkungan kerja;
- Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
- Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatanyang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
- Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
- Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
- Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara;
- Melakukan perbuatan lainnya dilingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Setiap kesalahan berat oleh pekerja/buruh tersebut harus didukung dengan alat-alat bukti diantaranya :
- Pekerja/buruh tertangkap tangan;
- Pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan;
- Laporan yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan dan didukung setidaknya 2 (dua) orang saksi.
Bila pekerja/buruh melakukan kesalahan berat sebagaimana tersebut di atas maka pengusaha dapat melakukan PHK tanpa ijin terlebih dahulu dari Pengadilan hubungan industrial, dan terhadap PHK ini pekerja/buruh hanya mendapat uang pengganti hak, dan bila pekerja/buruh tidak terima terhadap PHK ini pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
PHK dapat juga terjadi karena alasan efisiensi maka pekerja/buruh mendapatkan hak berupa uang pesangon sebanyak 2 kali dari ketentuan, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak atau uang ganti rugi. Bila PHK terjadi karena perusahaan tutup karena merugi maka pekerja/buruh mendapatkan hak berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak atau uang ganti rugi.
Pengusaha dapat melakukan PHK bukan karena kesalahan pekerja/buruh namun pekerja/buruh tidak keberatan maka pekerja/buruh mendapatkan hak berupa uang pesangon paling sedikit dua kali dari ketentuan, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak atau uang ganti rugi.
Bila PHK terjadi karena perubahan setatus kepemilikan atau karena pindah lokasi sedangkan Pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja maka pekerja/buruh mendapatkan hak berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak atau uang ganti rugi, namun bila sebaliknya pengusaha yang tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja maka pekerja/buruh mendapatkan hak berupa uang pesangon sebanyak 2 kali dari ketentuan, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak. Tapi bila PHK terjadi karena pekerja/buruh srlama 6 bulan atau lebih menjalani proses peradilan pidana bukan karena laporan pengusaha maka pengusaha dapat mem PHK pekerja/buruh tanpa ijin dari Pengadilan hubungan Industrial, dan pekerja/buruh hanya mendapatkan hak berupa uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak .
Pengusaha tidak dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja karena :
- Pekerja/buruh tidak dapat masuk kerja karena sakit berdasarkan keterangan dokter selama waktu tidak melebihi 12 (dua belas) bulan;
- Pekerja/buruh tidak dapat masuk kerja karena memenuhi kewajiban terhadap Negara sesuai dengan peraturan yang berlaku;
- Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
- Pekerja/buruh tidak dapat masuk kerja karena menikah;
- Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
- Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan Pekerja/buruh lainnya didalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
- Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau setatus perkawinan;
- Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan hal-hal tersebut di atas adalah batal demi hukum.
Berdasarkan hal yang telah diurai di atas permasalahan yang timbul karena adanya PHK adalah tentang sah atau tidaknya PHK tersebut dan konsekuensi adanya PHK yaitu hak-hak pekerja karena adanya PHK yaitu Uang Pesangon, Uang Penghargaan dan uang hak-hak lainnya. Pengadilan Hubungan Industrial berwenang memeriksa dan memutuskan untuk tingkat pertama, mengenai Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dan pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Hubungan Industrial dapat melakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung.
d) Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan
Yang dimaksud Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yaitu perselisihan antara serikat pekerja /serikat buruh dengan serikat pekerja /serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan.
Konstitusi kita menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, sehingga memungkinkan didalam satu perusahaan adanya dua atau lebih serikat pekerja/serikat buruh, dimana setiap lebih serikat pekerja/serikat buruh tersebut memiliki misi, kepentingan dan idiologi perjuangan yang berbeda-beda sehingga berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan anggota sebanyaknya hal ini memungkinkan timbulnya perselisihan atara serikat pekerja/serikat buruh yang satu dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan.
Serikat pekerja/serikat buruh mempunyai hak yaitu :
- Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
- Mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
- Mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
- Membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
- Melakukan kegiatan lainnya dibidang ketenagakerjaanyang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disamping memiliki hak serikat pekerja juga memiliki kewajiban yaitu :
- Melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya;
- Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;
- Mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
B. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif adalah kewenangan mengadili berdasarkan wilayah hukumnya atau dengan kata lain kewenagan antar satu pengadilan hubungan industrial dengan pengadilan hubungan industrial lainnya. Contoh Pengadilan hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung.
Mengenai kompetensi relatif peradilan hubungan industrial diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan penjelasannya yaitu bahwa peradilan hubungan industrial dibentuk disetiap ibu kota propinsi yang berada pada pengadilan negeri di ibukota propinsi, yang wilayahnya meliputi seluruh propinsi tersebut.
Pentingnya kompetensi relatif adalah untuk menentukan pengadilan hubungan industrial mana gugatan diajukan, sehingga gugatan memenuhi syarat formil. Suatu pengadilan hubungan industrial tidak dapat menolak suatu perkara walaupun itu bukan kompetensi relative dari pengadilan hubungan industrial tersebut selama tidak ada keberatan/eksepsi dari Tergugat/Para Tergugat/Turut Tergugat. Dan terhadap keberatan/eksepsi dari Tergugat/Para Tergugat/Turut Tergugat akan diputus bersamaan dengan pokok perkara. Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan di daerah yang meliputi tempat pekerja/buruh bekerja .
5.2. Alur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan mengenai kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Sehingga dengan demikian jenis-jenis perselisihan hubungan industrial terdiri atas :
- Perselisihan Hak;
- Perselisihan Kepentingan;
- Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja;
- Perselisihan antar serikat kerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
A. Penyelesaian Di luar Pengadilan Hubungan Industrial.
1) Penyelesaian Melalui Perundingan Bipartit
Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Perundingan bipartite dalam tenggang waktu paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan harus mencapai hasil apakah perundingan mencapai kesepakatan atau perundingan gagal. Perundingan bipartite gagal dapat karena tidak tercapai kesepakatan atau karena salah satu pihak menolak untuk berunding, dan setiap perundingan bipartite harus dibuat berita acara yang ditandatangani kedua belah pihak yang berselisi tersebut.
Perundingan bipartit yang mencapai kesepakatan maka dibuatlah perjanjian bersama yang ditandatangani oleh kedua pihak, dimana agar perjanjian bersama tersebut membunyai kekuatan fiat eksekusi karena bukan produk judikatif maka harus didaftar pada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama tersebut dan setelah itu mendapatkan akta bukti pendaftaran yang merupakan satu kesatuan dengan perjanjian kesepakatan bersama. Bila salah satu pihak melanggar perjanjian kesepakatan bersama yang telah didaftar tersebut maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian bersama tersebut didaftarkan, namun bila pemohon eksekusi tinggal di luar wilayah pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian bersama tersebut didaftarkan maka permohonan eksekusi dapat diajukan melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat pemohon eksekusi tinggal atau berdomisili untuk diteruskan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian kesepakatan bersama tersebut didaftarkan (vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
2) Penyelesaian Melalui Perundingan Triparti.
Bila Perundingan bipartit gagal maka salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat mencatatkan perselisihan hubungan industrial tersebut di instansi tenaga kerja (Departemen tenaga kerja yang wilayahnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja), dengan melampirkan bukti-bukti bahwa upaya bipartite telah ditempuh namun gagal.
Setelah perselisihan hubungan industrial didaftarkan di instansi tenaga kerja maka penyelesaiannya ditempuh melalu salah satu dari 3 cara dibawah ini :
a) Penyelesaian melalui Mediasi;
b) Penyelesaian melalui Konsiliasi; dan
c) Penyelesaian melalui Arbitrase.
a) Penyelesaian Melalui Mediasi
Setelah salah satu pihak atau kedua belah pihak perselisihan hubungan industrial mendaftarkan mencatatkan perselisihan hubungan industrial tersebut di instansi tenaga kerja (Departemen tenaga kerja yang wilayahnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja), dengan melampirkan bukti-bukti bahwa upaya bipartit telah ditempuh namun gagal maka instansi tenaga kerja tersebut menawarkan apakah perselisihan hubungan industrial akan ditempuh melalui Konsiliasi atau arbitrase. Dalam tenggang waktu 7 hari kerja salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak menentukan pilihan maka instansi yang bertanggung jawab tersebut melimpahkan perselisihan hubungan industrial tersebut pada mediator yang ada pada instansi tenaga kerja yang bersangkutan untuk ditempuh penyelesaian melalui jalur mediasi.
Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi seorang atau lebih seorang mediator yang netral.
Mediator adalah pegawai negeri sipil di instansi tenaga kerja yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut yaitu :
- Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
- Warga Negara Indonesia;
- Berbadan sehat menurut keterangan Dokter;
- Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
- Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
- Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
- Syarat lain yang yang ditetapkan oleh menteri.
Penyelesaian melalui jalur mediasi mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan seluruh jenis perselisihan hubungan industrial yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Mediator yang ditunjuk setelah menerima pelimpahan perkara paling lambat dalam waktu 7 hari harus sudah mempelajari perkara guna segera mengadakan sidang mediasi. Mediator paling lambat 30 hari kerja setelah menerima pelimpahan perkara harus sudah menyelesaikan tugasnya. Mediator dapat memanggil saksi dan atau Saksi ahli untuk dimintai keterangan dalam sidang mediasi. Seorang saksi yang dimintai keterangan dalam sidang mediasi wajib memberikan keterangan termasuk mengenai pembukuan yang berkaitan dengan pekerja/buruh seperti surat perintah lembur, pembukuan tentang upah dan sebagainya. Saksi ahli yang dipanggil adalah orang yang mempunyai keahlian khusus dibidangnya dan dapat juga saksi ahli tersebut dari Pejabat Pengawas Ketenagakerjaan. Seoarang yang dipangggil untuk hadir sebagai saksi atau ahli wajib hadir, bila saksi atau ahli tersebut tidak datang untuk memenuhi panggilan mediator dan tidak bersedia memberikan kesaksian maka saksi atau saksi ahli tersebut dapat dikenai pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 122 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dengan ancaman pidana kurungan paling singkat 1 bulan paling lama 6 bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Seorang saksi atau saksi ahli yang dipanggil mediator untuk hadir dalam siding mediasi karena jabatannya atau karena harkatnya harus menjaga suatu rahasia maka untuk memintai keterangan saksi atau ahli tersebut harus menempuh jalur yang ditentukan dalam peraturan yang mengatur tentang kerahasian tersebut, dan keterangan dari saksi dan ahli tersebut harus benar-benar dijaga kerahasiaannya oleh mediator. Seorang saksi atau ahli yang dipanggil untuk hadir pada siding mediasi berhak mendapat pengganti uang transportasi dan akomodasi yang besarnya ditetetapkan dengan Keputusan Menteri.
Dalam sidang mediasi apa bila terjadi kesepakatan antara pihak pekerja/buruh dengan pengusaha maka dibuatlah perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator. Kesepakatan antara pihak pekerja/buruh dengan pengusaha dalam siding mediasi yang dituangkan dalam perjanjian bersama tersebut bukan merupakan produk lembaga yudikatif dalam hal ini Pengadilan hubungan industrial maka agar memiliki kekuatan fiat eksekusi perjanjian bersama tersebut harus didaftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dimana perjanjian dibuat, dan akan mendapatkan akta bukti pendaftaran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari perjanjian bersama tersebut.
Bila salah satu pihak melanggar perjanjian bersama yang telah didaftar tersebut maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian bersama tersebut didaftarkan, namun bila pemohon eksekusi tinggal di luar wilayah pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian bersama tersebut didaftarkan maka permohonan eksekusi dapat diajukan melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat pemohon eksekusi tinggal atau berdomisili untuk diteruskan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian kesepakatan bersama tersebut didaftarkan (vide Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Dalam hal sidang mediasi para pihak tidak mencapai kesepakatan maka mediator mengeluarkan anjuran tertilis yang berisi saran dan pendapat tentang penyelesaian peselisihan para pihak. Dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama para pihak harus sudah menerima anjuran mediator, dan selambat-lambatnya dalam waktu 10 hari kerja setelah para pihak menerima anjuran mediator maka para pihak harus sudah mengajukan pendapat apakah menerima atau menolak anjuran mediator tersebut, bagi pihak yang tidak mengajukan pendapat maka dianggap menolak anjuran mediator tersebut, dan pihak yang menolak anjuran mediator maka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.
Dalam hal ini posisi pekerja sangat lemah karena bila anjuran mediator menguntungkan pekerja/buruh sudah pasti diterima oleh pihak pekerja/buruh, dipihak lain pengusaha menolak anjuran tersebut maka dalam hal ini seharusnya pengusaha mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan hubungan industrial namun karena pengusaha merasa tidak ada kepentingan maka pengusaha tidak akan mengajukan gugatan karena putusan mediator tidak mempunyai kekuatan fiat eksekusi, sehingga pihak pekerja/buruh yang harus aktif mengajukan gugatan. Kedepan bila hal seperti ini terjadi maka pihak yang menolak anjuran tersebut harus mengajukan gugatan, bila tidak mengajukan gugatan maka dianggap menerima anjuran mediator.
Dalam hal anjuran mediator diterima oleh buruh maka mediator dalam waktu paling lambat 3 hari kerja sejak anjuran mediator disetujui para pihak harus membantu membuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator. Sebagaimana disebut di atas anjuran mediator bukan produk yudikatif dalam hal ini pengadilan hubungan industrial maka agar memiliki kekuatan eksekutorial (fiat eksekusi) perjanjian bersama tersebut harus didaftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dimana perjanjian bersama tersebut dibuat, dan akan mendapatkan akta bukti pendaftaran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari perjanjian bersama tersebut.
Bila salah satu pihak melanggar perjanjian bersama yang telah didaftar tersebut maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian bersama tersebut didaftarkan, namun bila pemohon eksekusi tinggal di uar wilayah pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian bersama tersebut didaftarkan maka permohonan eksekusi dapat diajukan melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat pemohon eksekusi tinggal atau berdomisili untuk diteruskan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian kesepakatan bersama tersebut didaftarkan.
b) Penyelesaikan Melalui Konsiliasi
Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka kewenagan siding konsiliator adalah hanya untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang meliputi :
- Perselisihan kepentingan;
- Perselisihan pemutusan hubungan kerja;
- Perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dengan demikian persidangan konsiliasi tidak berwenang untuk menyelesaikan perselisihan hak.
Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi untuk menyelesaikan Perselisihan kepentingan, Perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau Perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Seorang konsiliator harus memenuhi npersyaratan-persyaratan sebagai berikut :
- Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
- Warga Negara Indonesia;
- Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
- Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
- Berbadan sehat menurut keterangan Dokter;
- Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
- Memiliki pengalaman dibidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;
- Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
- Syarat lain yang yang ditetapkan oleh menteri.
Setelah penyelesaian perselisihan industrial melalui perundingan bipartite gagal maka salah satu pihak atau kedua belah pihak perselisihan hubungan industrial mendaftarkan mencatatkan perselisihan hubungan industrial tersebut di instansi tenaga kerja, dengan melampirkan bukti-bukti bahwa upaya bipartit telah ditempuh namun gagal maka instansi tenaga kerja tersebut menawarkan apakah perselisihan hubungan industrial akan ditempuh melalui Konsiliasi atau arbitrase. Dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja para pihak harus telah menentukan pilihan untuk menempuh jalur konsiliasi atau arbitrase. Bila para pihak sepakat memilih jalur konsiliasi maka para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang wilayah kerjanya tempat pekerja/buruh bekerja. Daftar konsiliator dapat dilihat pada instansi tenaga kerja setempat. Konsiliator setelah menerima permintaan secara tertulis dari para pihak selambat-lambatnya 7 hari kerja konsiliator harus sudah mempelajari posisi kasus, dan selambat-lambatnya pada hari kedelapannya harus sudah melakukan sidang konsiliasi pertama. Konsiliator paling lambat 30 hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian melalui konsiliasi oleh para pihak, harus sudah menyelesaikan tugasnya.
Konsiliator juga sama dengan mediator dapat memanggil seseorang untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna dimintai keterangan sebagai saksi atau saksi ahli. Seorang saksi yang dimintai keterangan dalam sidang konsiliasi wajib memberikan keterangan termasuk mengenai pembukuan yang berkaitan dengan pekerja/buruh seperti surat perintah lembur, pembukuan tentang upah dan sebagainya. Saksi ahli yang dipanggil adalah orang yang mempunyai keahlian khusus dibidangnya dan dapat juga saksi ahli tersebut dari Pejabat Pengawas Ketenagakerjaan. Seoarang yang dipangggil untuk hadir sebagai saksi atau ahli wajib hadir, bila saksi atau ahli tersebut tidak datang untuk memenuhi panggilan konsiliator dan tidak bersedia memberikan kesaksian maka saksi atau saksi ahli tersebut dapat dikenai pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 122 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dengan ancaman pidana kurungan paling singkat 1 bulan paling lama 6 bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Alur sidang konsiliasi pada dasarnya adalah sama dengan sidang mediasi. Dalam sidang konsiliasi juga apa bila terjadi kesepakatan antara pihak pekerja/buruh dengan pengusaha maka dibuatlah perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator. Kesepakatan antara pihak pekerja/buruh dengan pengusaha dalam sidang konsiliasi yang dituangkan dalam perjanjian bersama tersebut bukan merupakan produk lembaga yudikatif dalam hal ini Pengadilan hubungan industrial maka agar memiliki kekuatan fiat eksekusi perjanjian bersama tersebut harus didaftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dimana perjanjian dibuat, dan akan mendapatkan akta bukti pendaftaran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari perjanjian bersama tersebut.
Bila salah satu pihak melanggar perjanjian bersama yang telah didaftar tersebut maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian bersama tersebut didaftarkan, namun bila pemohon eksekusi tinggal di luar wilayah pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian bersama tersebut didaftarkan maka permohonan eksekusi dapat diajukan melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat pemohon eksekusi tinggal atau berdomisili untuk diteruskan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian kesepakatan bersama tersebut didaftarkan (vide Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)..
Demikian juga dalam hal sidang konsiliasi para pihak tidak mencapai kesepakatan maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis yang berisi saran dan pendapat tentang penyelesaian peselisihan para pihak. Dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama para pihak harus sudah menerima anjuran konsiliator, dan selambat-lambatnya dalam waktu 10 hari kerja setelah para pihak menerima anjuran konsiliator maka para pihak harus sudah mengajukan pendapat apakah menerima atau menolak anjuran konsiliator tersebut, bagi pihak yang tidak mengajukan pendapat maka dianggap menolak anjuran konsiliator tersebut, dan pihak yang menolak anjuran konsiliator maka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.
Sama dengan mediasi, dalam hal ini posisi pekerja sangat lemah karena bila anjuran konsiliator menguntungkan pekerja/buruh sudah pasti diterima oleh pihak pekerja/buruh, dipihak lain pengusaha menolak anjuran tersebut maka dalam hal ini seharusnya pengusaha mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan hubungan industrial namun karena pengusaha merasa tidak ada kepentingan maka pengusaha tidak akan mengajukan gugatan karena anjuran konsiliator tidak mempunyai kekuatan fiat eksekusi, sehingga pihak pekerja/buruh yang harus aktif mengajukan gugatan. Kedepan bila hal seperti ini terjadi maka pihak yang menolak anjuran konsiliator tersebut harus mengajukan gugatan, bila tidak mengajukan gugatan maka dianggap menerima anjuran konsiliator.
Dalam hal anjuran konsiliator diterima oleh kedua belah pihak maka konsiliator dalam waktu paling lambat 3 hari kerja sejak anjuran konsiliator disetujui para pihak harus membantu membuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator. Sebagaimana disebut di atas anjuran konsiliator bukan produk yudikatif dalam hal ini pengadilan hubungan industrial maka agar memiliki kekuatan fiat eksekusi perjanjian bersama tersebut harus didaftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dimana perjanjian bersama tersebut dibuat, dan akan mendapatkan akta bukti pendaftaran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari perjanjian bersama tersebut.
Bila salah satu pihak melanggar perjanjian bersama yang telah didaftar tersebut maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian bersama tersebut didaftarkan, namun bila pemohon eksekusi tinggal di uar wilayah pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian bersama tersebut didaftarkan maka permohonan eksekusi dapat diajukan melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat pemohon eksekusi tinggal atau berdomisili untuk diteruskan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tempat perjanjian kesepakatan bersama tersebut didaftarkan.
c) Penyelesaian melalui Arbitrase
a. Pengertian dan Kewenagan Arbitrase
Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, diluar Pengadilan hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Kewenagan arbitrase adalah terbatas hanya untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang meliputi:
- Perselisihan kepentingan;
- Perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
b. Penunjukan Arbiter
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase harus berdasarkan kesepakatan para pihak yang dibuat secara tertulis dalam perjanjian arbitrase yang dibuat 3 rangkap dimana masing-masing pihak mendapat satu yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. Perjanjian arbitrase setidak-tidaknya memuat hal-hal sebagai berikut :
- Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
- Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
- Jumlah arbiter yang disepakati;
- Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;
- Tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tandatangan para pihak yang berselisih.
Arbiter dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbitrase yang ditetapkan mentri, dimana jumlah arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak dengan jumlah sebanyak-banyaknya 3 arbiter dan jumlahnya harus selalu gasal/ganjil dengan demikian arbiter yang ditunjuk bisa arbiter tunggal atau majelis arbiter yang berjumlahnya 3 orang. Dalam hal arbiter tunggal maka para pihak selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditandatanganinya perjanjian arbitrase harus telah menunjuk arbiter tunggalnya, penunjukan arbiter tersebut harus dibuat secara tertulis oleh para pihak, apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan tentang siapa yang ditunjuk sebagai arbiter tunggal maka penunjukannya atas permohonan salah satu pihak diserahkan kepada ketua pengadilan negeri setempat.
Demikian juga dengan penunjukan siapa-siapa nama majelis arbiter masing-masing pihak memilih satu nama sebagai arbiter dan kemudia ke 2 arbiter pilihan masing pihak tersebut memilih satu nama lagi untuk menjadi ketua majelis arbiter. Demikian pula halnya dengan penunjukanarbiter yang berbentuk majelis bila para pihak tidak tercapai kesepakatan maka atas permintaan salah satu pihak penunjukannya diserahkan kepada ketua pengadilan negeri setempat.
Arbiter yang ditunjuk oleh para pihak harus memberiatuhakan hal-hal tentang dirinya yang mungkin dapat mempengaruhi dia mengambil keputusan, sehingga para pihak dapat mempertimbangkan untuk tetap menunjuk atau mencari arbiter lain. Arbiter yang ditunjuk oleh para pihak bila menerima penunjukannya tersebut harus memberitahukan penerimaan penunjukan tersebut secara tertulis, setelah itu para pihak dengan arbiter baik tunggal maupun majelis membuat perjanjian arbiter yang ditandatangani oleh para pihak dan arbiter, dan dibuat 3 rangkap yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang masing-masing pihak dan arbiter mendapat 1 rangkap, khusus untuk arbiter yang berbentuk majelis disimpan oleh ketua majelis arbiter.
Perjanjian arbiter setidak-tidaknya memuat hal-hal sebagai berikut :
- Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter;
- Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
- Biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
- Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;
- Tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tandatangan para pihak yang berselisih dan arbiter;
- Pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam menyelesaian perkara yang ditanganinya;
- Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
c. Penggantian Arbiter
Arbiter dapat diganti karena :
- Meninggal Dunia;
- Mengundurkan diri;
- Hak ingkar Para Pihak.
Penggantian arbiter karena meninggal dunia tidak akan menimbulakan masalah karena umur manusia adalah rahasia Tuhan, namun untuk penggantian arbiter karena mengundurkan diri dan karena hak ingkar harus melalaui prosedur dan alasan yang dapat diterima secara hukum.
Arbiter hanya dapat mengundurkan diri dengan persetujuan dari para pihak, dan pengundurann dirinya harus dibuat secara tertulis yang ditujukan kepada para pihak. Apibali para pihak menyetujui pengunduran diri arbiter tersebut maka arbiter tersebut dibebaskan dari tugasnya sebagai arbiter dalam kasus tersebut, tetapi bila para pihak menolak pengunduran diri tersebut maka arbiter dapat mengajukan pengunduran diri kepada pengadilan hubungan industrial dengan mengajukan alasan yang dapat diterima.
Penunjukan arbiter pengganti karena mengundurkan diri atau meninggal dunia dilakukan oleh pihak yang menunjuknya atau para arbiter yang memilihnya untuk arbiter yang berbentuk majelis, namun bagi arbiter yang berbentuk tunggal penunjukannya dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak. Para pihak atau para arbiter harus sudah mencapai kesepakatan untuk penunjukan arbiter pengganti selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak arbiter mengundurkan diri atau meninggal dunia. Dalam hal para pihak atau para arbiter tidak tercapai kesepakatan tentang penunjukan arbiter pengganti maka atas permohonan para pihak atau para arbiter, atau atas permohonan salah satu pihak atau salah satu arbiter dapat menyerahkan penunjukannya kepada pengadilan hubungan industrial, dan dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal diajukannya permohonan Pengadilan Hubungan Industrial harus sudah menunjuk arbiter pengganti. Arbiter Pengganti harus membuat pernyataan bahwa Arbiter pengganti akan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dalam persedangan arbitrase sebelum penunjukannya dan akan melanjutkan penyelesaian perkara yang bersangkutan.
Bahwa selain hal tersebut diatas penggantian arbiter dapat dilakukan karena adanya tuntutan ingkar terhadap arbiter oleh salah satu pihak kepada pengadilan negeri dengan alasan karena :
- Arbiter tidak netral dalam artian arbiter yang bersangkutan disangsikan tidak bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan;
- Arbiter memiliki keterikatan kerja dengan salah satu pihak atau kusa hukumnya
- Arbiter memiliki hubungan keluarga baik karena hubungan darah atau semanda dengan salah satu pihak atau kuasanya.
Hak ingkar oleh salah satu pihak:
- terhadap arbiter yang diangkat oleh ketua pengadilan ditujukan kepada ketua pengadilan yang mengangkatnya;
- terhadap arbiter tunggal ditujukan kepada arbiter tersebut;
- terhadap arbiter yang dipilih oleh para arbiter diajukan terhadap majelis arbiter.
Terhadap tuntutan hak ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak atau para pihak harus diputus oleh pengadilan negeri yang bersangkutan dan terhadap putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum perlawanan. Apabila dalam putusan pengadilan negeri tersebut hak ingkar salah satu pihak atau para pihak dikabulkan dengan alasan sebagaimana tersebut di atas maka arbiter atau majelis arbiter terhadapnya diajukan hak ingkar harus diganti. Penunjukan arbiter pengganti dilakukan oleh pihak yang menunjuknya atau para arbiter yang memilihnya untuk arbiter yang berbentuk majelis.
Segala tindakan arbiter atau majelis arbiter yang dilakukan dalam preoses pemeriksaan perkara perselisihan hubungan industrial tidak dapat dimintai tanggung jawab secara hukum oleh para pihak, kecuali para pihak dapat membuktikan adanya itikad tidak baik dari arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara tersebut.
d. Jalannya Acara Persidangan Arbitrase
Arbiter atau majelis arbiter selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak penandatanganan perjanjian penunjukan arbiter harus sudah memulai pemeriksaan perkara dalam persidingan arbitrase. Persidangan arbitrase dilakukan secara tertutup kecuali para pihak menghendaki persidangan arbitrase terbuka untuk umum.
Perkara perselisihan hubungan industrial yang sedang diajukan ke arbitrase atau yang telah selesai diputus arbitrase tidak dapat diajukan kepada pengadilan hubungan industrial. Arbiter atau majelis arbiter harus sudah menyelesaikan perkara perselisihan Hubungan Industrial selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditandatanganinya Perjanjian Penunjukan Arbiter atau selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditunjuknya arbiter pengganti apabila terjadi penggantian arbiter, waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut di atas dapat diperpanja oleh arbiter atau majelis arbiter atas persetujuan para pihak sebanyak satu kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 hari kerja. Setiap persidangan arbitrase harus dibuatkan berita acara persidangan arbitrase.
i. Terjadi Perdamaian
Arbiter atau majelis arbiter pada awal persidangan arbitrase mengupayakan perdaian para pihak. Apabila upaya perdamaian tersebut disetujui para pihak maka arbiter atau arbitrase membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak dan arbiter atau majelis arbiter. Akta perdamaian tersebut harus didaftar pada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri wilayah arbiter mengadakan perdamaian, pada saat pendaftaran akta perdamaian tersebut diberi akta bukti pendaftaran oleh pengadilan hubungan industrial tersebut, akta bukti pendaftaran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari akta perdamaian. Maksud akta perdamaian tersebut didaftar adalah agar memiliki kekuatan untuk dieksekusi (fiat eksekusi) apabila salah satu pihak tidak mematuhi atau tidak melaksanakan isi akta perdamaian tersebut karena akta perdamaian arbitrase tersebut bukan produk lembaga yudikatif.
Permohonan eksekusi yang diajukan oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan karena pihak lainnya tidak mematuhi akta perdamaian yang sudah didaftar tersebut kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana akta perdamaian itu didaftar, tapi bila pemohon eksekusi tinggal atau berdomisili diluar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di mana akta perdamaian itu didaftar dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal atau domisili pemohon eksekusi untuk dilteruskan kepada hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di mana akta perdamaian itu didaftar (vide Pasal 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Para pihak yang telah dipanggil secara patut dan layak namun tidak hadir dalam persidangan arbitrase tanpa alasan yang sah maka arbiter atau majelis arbiter maka arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter terhadap pemeriksaan perkara perselisihan hubungan industrial tersebut berakhir. Dan terhadap seluruh biaya yang dikeluarkan oleh para pihak yang berkaitan dengan perjanjian penunjukan arbiter sebelum perjanjian penunjukan arbiter tersebut dibatalkan oleh arbiter atau majelis arbiter tidak dapat diambil kembali.
ii. Perdamaian Gagal
Apabila upaya perdaian yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbiter tidak diterima oleh para pihak maka maka persidangan arbiter dilanjutkan dengan memberi kesempatan kepada para pihak untuk menjelaskan tentang pendirian masing-masing pihak dan juga mengajukan bukti-bukti yang mendukung pendirian para pihak. Penjelasan tersebut dapat dibuat secara tertulis dapat juga secara lisan. Arbiter atau majelis arbiter dapat meminta keterangan dan atau bukti tambahan kepada para pihak.
Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang atau lebih untuk hadir dalam sidang arbitrase guna dimintai keterangan sebagai saksi atau saksi ahli. Seorang saksi yang dimintai keterangan dalam sidang arbitrase wajib memberikan keterangan termasuk mengenai pembukuan yang berkaitan dengan pekerja/buruh seperti surat perintah lembur, pembukuan tentang upah dan sebagainya. Saksi ahli yang dipanggil adalah orang yang mempunyai keahlian khusus dibidangnya. Seoarang yang dipangggil untuk hadir sebagai saksi atau ahli wajib hadir, bila saksi atau ahli tersebut tidak datang untuk memenuhi panggilan Arbiter atau majelis arbiter dan tidak bersedia memberikan kesaksian maka saksi atau saksi ahli tersebut dapat dikenai pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 122 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dengan ancaman pidana kurungan paling singkat 1 bulan paling lama 6 bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Saksi atau saksi ahli yang dimintai keterangan dalam sidang arbitrase terlebih dahulu harus diambil sumpah atau janji sesuai dengan agamanya masing-masing. Biaya transportasi dan akomodasi saksi, saksi ahli dan rohaniawan yang menyumpah saksi atau saksi ahli ditanggung oleh pihak yang mengajukan saksi dan atau saksi ahli tersebut.
Setelah dianggap cukup maka arbiter atau majelis arbiter mengambil putusan yang ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbiter. Apabila salah satu majelis arbiter tidak menandatangani putusan arbitrase yang telah diambil dalam rapat arbiter karena sakit atau meninggal dunia maka hal tersebut harus dicantumkan dalam putusan arbitrase tersebut dan tidak mempengaruhi kekuatan mengikat putusan arbitrase tersebut.
Walaupun putusan arbitrase adalah putusan yang bersifat final dan mengikat namun karena putusan arbitrase bukan putusan lembaga yudikatif karena itu tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (fiat eksekusi), agar putusan arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial (fiat eksekusi) maka putusan arbitrase tersebut harus didaftar pada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dimana putusan arbitrase ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Putusan arbitrase yang telah didaftar pada pengadilan hubungan industrial seperti tersebut di atas maka putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial (fiat eksekusi), karena itu bila ada pihak yang tidak menjalankan putusan arbitrase tersebut maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal atau domisili termohon eksekusi agar putusan arbitrase tersebut diperintahkan untuk dijalankan. Dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja setelah permohonan eksekusi didaftarkan pada pengadilan negeri setempat perintah agar termohon eksekusi menjalankan putusan arbitrase harus sudah dikeluarkan oleh pengadilan negeri yang dimaksud tanpa lagi memeriksa apa alasan dan pertimbangan hukum dari putusan arbitrase tersebut (vide Pasal 51 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Walaupun putusan arbiter adalah bersifat final dan mengikat namun pearturan perundang-undangan masih memberi kesempatan para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase tersebut kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Permohonan pembatalan tersebut harus sudah diajukan selambat-lambatnya 30 hari kerja setelah putusan arbitrase ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter. Adapun alasan-alasan mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ke Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Setelah putusan diambil surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan sebagai bukti diketahu, diketahui, atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d. Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja setelah permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia harus sudah memutus permohonan tersebut. Apabila permohonan dikabulkan oleh Mahkamah Agung maka Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan tersebut baik sebagian atau seluruh dari putusan arbitrase tersebut.
B. Penyelesaian Di Dalam Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadlan hubungan industrial merupupakan bagian dari pengadilan umum yang bersifat khusus karena hanya berwenang memeriksa perkara peselisihan hubungan industrial. Hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan umum juga berlaku pada pengadilan hubungan industrial kecuali yang diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sumber hukum acara yang berlaku pada pengadilan hubungan industrial diantaranya :
1) HIR (Het Herziene Indonesich Reglement atau Reglemen Indonesia Baru).
HIR memuat hukum acara pidana dan perdata, namun khusus hukum acara pidana telah dicabut dengan berlakunya Undang-undang no. 8 Tahun 1981 Tentang Kitap Hukum Acara Pidana. Dalam HIR Hukum acara perdata diatur dalam Bab IX dan sebagian Bab XV. HIR adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk pengadilan di seluruh Pulau jawa dan Madura.
2) RBg (Reglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 No.: 227).
RBg adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk wilayah Indonesia yang berada di luar pulau jawa dan madura. Saat ini bagian RBg yang masih berlaku adalah Bab II title IV dan V.
3) Rv. (Reglement op de burgelijke rechtsvorderingvoorde raden van Justitie opa Java en het hoogerechtshof van Indonesie, alsmede voor de risidentiegerechtenop Java en Madura).
RV seharusnya sudah tidak berlaku lagi dengan telah dihapusnya Raad van Justitie dan Residentiegerecht, karena Rv. Adalah hukum acara yang berlakubagi golongan eropa dan mereka yang disamakan dengan golongan eropa untuk beracara dimuka Raad van Justitie dan Residentiegerecht, namun dalam perakteknya masih tetap berlaku. Dengan demikian menurut penulis hendaknya segala hal yang diatur dalam RV bila bertentangan dengan HIR dan RBg maka yang berlaku adalah HIR dan RBg.
4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
5) Undang-Undang lainnya.
6) Yurisprudensi, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
Setelah para pihak menempuh penyelesaian secara bipartii yang kemudian dilanjutkan menempuh penyelesaian melalaui mediasi atau konsiliasi namun tidak mencapai perdamaian maka mediator atau konsiliator mengeluarkan anjuran, terhadap anjuran mediator atau konsiliator tersebut para pihak dapat menerima atau menolak anjuran tersebut. Apa bila salah pihak satu atau para pihak menolak anjuran mediator atau konsiliator maka para pihak atau sdalah satu pihak yang menolak anjuran tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Khusus untuk perkara perselisihan Pemutusan hubungan kerja hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 1 tahun sejak pengusaha memberitahukan pemutusan hubungan kerja tersebut kepada pekerja/buruh. Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial khusus untuk perkara yang bernilai dibawah Rp. 150.000.000,00 (seratus limapuluh juta rupiah) tidak dikenai biaya perkara dan biaya eksekusi.
Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial bukanlah bentuk perlawanan atau banding terhadap anjuran mediator atau konsiliator, karena anjuran mediator atau konsiliator tersebut bukanlah putusan lembaga yudikatif oleh karena itu tidak dapat dilakukan upaya hukum, dan majelis hakim pada pengadilan hubungan industrial tidak terikat terhadap anjuran mediator atau konsiliator tersebut, sehingga dapat saja putusan majelis hakim pengadilan hubungan industrial berbeda dengan anjuran mediator atau konsiliator. Gugatan yang diajukan ke pengadilan hubungan industrial harus dilampirkan dengan anjuran mediator atau konsiliator.
Gugtan yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri harus didaftar pada kepaniteraan, dan paling lambat 7 hari kerja setelah perkara didaftarkan maka Ketua Pengadilan Negeri harus telah membentuk Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutuskan perkara tersebut. Majelis yang ditunjuk tersebut selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak penunjukan tersebut harus sudah melakukan siding pertama.
1. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
a. Sidang Pertama
1.1. Para Pihak Hadir
a) Pemeriksaan Identitas Para Pihak
Persidangan pada pengadilan hubungan industrial dilakukan terbuka untuk umum kecuali apabila hakim menetapkan lain. Pada sidang pertama para pihak yang berperkara baik Penggugat/Para Penggugat dan Tergugat/Para Tergugat/Turut Tergugat hadir sendiri tanpa diwakili oleh kuasa hukum atau diwakili oleh kuasa hukum maka pada saat itu majelis hakim akan memeriksa identitas para pihak terlebih dahulu mengenai identitas (Nama dan alamat) dengan melihat kartu identitas para pihak maupun kuasa hukum Para pihak dengan melihat surat kuasa dan identitas kuasa hukumnya apakah kuasa hukum tersebut dari kalangan internal perusahaan, serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha atau dari kalangan advokat. Dengan melihat identitas kuasa hukum tersebut. Kuasa hukum dari kalangan internal perusahaan yang bukan advokat maka harus mendapat ijin insidentil dari Ketua Pengadilan Negeri, dimana ijin insidentil tersebut hanya berlaku untuk satu perkara saja. Khusus untuk kalangan dari serikat Pekerja/serikat buruh harus disertai Surat Pengangkatannya sebagai pengurus dan surat pendaftaran serikat Pekerja/serikat buruh pada instansi ketenagakerjaan, sedangkan untuk organisasi pengusaha juga demikian, sedangkan untuk kalangan advokat harus menunjukkan kartu identitas advokat.
b) Perdamaian
Setelah pemeriksaan identitas para pihak atau kuasa hukumnya maka majelis hakim wajib mengimbau dan mengajurkan perdamaian kepada para pihak. Landasan formil prosedur mediasi adalah PERMA No. 2 Tahun 2003. Dalam prakteknya acara perdamaian pada pengadilan hubungan industrial berbeda dengan perkara perdata umum, dalam perkara perdata umum acara perdamaian dilakukan paling lama 21 hari dengan menunjuk hakim mediator (mediator dalam lingkungan pengadilan) atau mediator dari luar lingkungan pengadilan, sedangkan dalam peraktek peradilan hubungan industrial acara perdamaian dihimbau hakim tidak diberi waktu khusus tetapi bersamaan dengan pemeriksaan perkara karena pemeriksaan perkara di Pengadilan hubungan industrial dibatasi waktu yaitu selama-lamanya 50 hari kerja sejak sidang pertama, apabila selama pemeriksaan perkara sebelum putusan dibacakan telah terjadi perdamaian para pihak maka hal ini dapat diberitahukan kepada Majelis Hakim.
Perdamaian dapat dilakukan dua cara yaitu di luar pengadilan dan perdamaian di dalam pengadilan. Perdamaian di luar pengadilan adalah perdamaian yang dilakukan para pihak tanpa melibatkan majelis hakim yang biasanya dibauat perjanjian perdamaian antara para pihak dan biasanya disertai pencabutan gugatan oleh pihak penggugat. Perdamaian dalam pengadilan yaitu perdamaian yang dilakukan para pihak dengan melibatkan majelis hakim dan dibuatkan akta perdamaian (Acte van vergelijk).
Pebedaan kedua perdamaian tersebut adalah terletak pada kekuatan eksekusi apa bila ada salah satu pihak yang melanggar isi perdamaian tersebut, pada perdamaian di luar pengadilan tidak memiliki kekuatan eksekusi (non executable) karena itu pihak yang dirugikan harus mengajukan gugatan lagi, sedangkan perdamaian di dalam pengadilan akta perdamaian memiliki kekuatan eksekusi (executable) karena akta perdamaian (Acte van vergelijk) adalah sama dengan putusan, dimana amar putusannya berbunyi menghukum kedua belah pihak mentaati isi perdamaian dan masing-masing membayar biaya perkara (vide Pasal 130 ayat (2) HIR atau Pasal 154 ayat (2) RBg), sehingga terhadap akta perdamaian tersebut tidak dapat dilakukan gugatan lagi atau dilakukan upaya hukum baik banding dan atau kasasi.
c) Pembacaan Surat gugatan
Bila setelah majelis hakim menghimbau dan menganjurkan perdamaian dan para pihak tetap terus ingin pemeriksaan perkara maka majelis hakim mempersilahkan Penggugat/Para Penggugat untuk membaca gugatannya, setelah gugatan dibaca majelis hakim mempertanyakan apakah penggugat tetap pada gugatannya atau ada perbaikan gugatan, terhadap hal ini dicatat dalam berita acara persidangan.
d) Putusan Sela
Apabila dalam gugatan juga diajukan permohonan provisi agar pengadilan hubungan industrial menjatuhkan putusan sela karena pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja dan terbukti tidak melakukan kewajibanya sebagaimana dimaksud Pasal 155 ayat (3) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, maka pada sidang pertama atau pada sidang kedua Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima Pekerja/buruh, terhadap Putusan Sela ini tidak dapat dilakukan upaya hukum. Selama proses pemeriksaan perkara masih berlangsung namun pengusaha tidak menjalankan isi Putusan sela tersebut maka Majelis Hakim dapat melakukan sita eksekusi dalam suatu penetapan (vide Pasal 96 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
1.2 Salah Satu Pihak atau Para Pihak Tidak Hadir
Pada persidangan pertama ada kemungkinan salah satupihak atau Para pihak tidak hadir walau telah dipanggil secara resmi sah dan patut, maka terhadap hal ini majelis hakim menunda kepersidangan berikutnya paling lama 7 hari, dan penundaan tersebut paling banyak dilakukan 2 kali penundaan.
Yang dimaksud dengan resmi adalah panggilan tersebut dibuat dan dilakukan oleh juru sita pengadilan baik juru sita pada pengadilan hubungan industrial yang bersangkutan atau apabila salah satu pihak atau para pihak berdomisili diluar wilayah hukum pengadilan hubungan industrial yang memeriksa perkara tersebut maka panggilan didelegasikan kepada juru sita pengadilan hubungan industrial yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal atau domisili Para pihak.
Yang dimaksud secara patut adalah bila panggilan itu disampaikan kepada para pihak berperkara selambat-lambatnya tiga hari kerja (drie vrije) sebelum hari sidang (Vide Pasal 122 HIR), sedangkan secara sah adalah bila panggilan dilakukan kepada para pihak :
- di tempat tinggal/domisili para pihak atau bila apa bila tempat tinggal/domisili tidak diketahui panggilan dilakukan pada tempat tinggal / domisili terakhir Para Pihak;
- pabila para pihak tidak ada di tempat tinggal/domisili atau tempat tinggal/domisili terakhir para pihak maka panggilan disampaikan melalui kepala Kelurahan atau kepala desa yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal / domisili atau tempat tinggal / domisili terakhir para pihak.
- Apabila tempat tinggal/domisili atau tempat tinggal/domisili terakhir para pihak tidak dikenal maka surat panggilan ditempel di tempat pengumuman pada gedung pengadilan hubungan industrial yang memeriksa perkara tersebut.
- Panggilan diterima sendiri oleh para pihak atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda terima.
a. Penggugat/Para Penggugat Tidak Hadir
Apabila Penggugat/Para Penggugat atau kuasa hukumnya yang sudah dipanggil dengan resmi, patut dan sah namun tidak hadir dalam persidangan penundaan terakhir maka gugatan dinyatakan gugur. Terhadap gugatan yang digugurkan tersebut majelis hakim membuat putusan , dan putusan tersebut diberitahukan kepada Penggugat ditempat sebagaimana tersebut di atas.
Penggugat/Para Penggugat berhak mengajukan sekali lagi gugatan yang dinyatakan gugur tersebut ke pengadilan hubungan industrial (Vide Pasal 124 HIR/148 RBg jo. Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
b. Tergugat Tidak Hadir
Apabila Tergugat atau kuasa hukumnya yang sudah dipanggil dengan resmi, patut dan sah namun tidak hadir dalam persidangan penundaan terakhir maka pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan tanpa kehadiran Tergugat. Maka setelah Penggugat/Para Penggugat mengajukan bukti-bukti dan saksi maka majelis hakim dapat menjatuhkan putusan tanpa kehadiran Tergugat atau yang biasa disebut Putusan Verstek.
Putusan verstek tidak dapat dijatuhkan walaupun Tergugat tidak hadir namun mengirim jawaban tertulis yang berisi eksepsi ketidak wenangan pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut (vide pasal 125 ayat (2) HIR/Pasal 149 ayat (2) RBg), demikian juga putusan Vertek tidak dapat dijatuhkan bila Tergugatnya lebih dari satu namun ada yang hadir dalam persidangan maka majelis hakim meneruskan pemeriksaan perkara tersebut dengan putusan biasa.
a. Sidang Kedua acara Jawaban Penggugat Terhadap Gugatan
Pada sidang kedua ini adalah kesempatan bagi pihak Penggugat untuk mengajukan jawabannya terhadap gugatan Penggugat/Para Penggugat. Dalam Jawaban Tergugat biasanya berisi :
2.1. Eksepsi
Eksepsi atau juga tangkisan pada prinsipnya dibagi menjadi 2 yaitu Eksepsi Prosesuil yaitu eksepsi yang berkaitan dengan segi acara dan eksepsi materiil yaitu eksepsi yang berkaitan dengan hukum materil, namun dalam perakteknya eksepsi sering dibagi menjadi kompetensi absolut, kompetensi relatif, dan eksepsi lainnnya diluar kompetensi.
i. Eksepsi Kompetensi Absolut
Eksepsi kompetensi absolut adalah eksesi yang berkaitan dengan kewenangan mengadili pengadilan hubungan industrial berdasarkan jenis perkara yang hanya dimiliki oleh pengadilan tersebut dan tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain. Contoh Eksepsi ini adalah Perkara perselisihan hubungan industrial adalah kewenangan peradilan hubungan industrial bukan kewenagan peradilan lain, atau perkara gono-goni adalah kewenangan peradilan agama bagi orang islam dan peradilan umum bagi kalangan non islam, eksepsi ini diklasifikasikan dalam eksepsi prosesuil.
Cara mengajukan kompetensi absolut dapat diajukan sendiri terpisah dari jawaban pokok perkara dan dapat pula bersama dengan jawaban pokok perkara. Eksepsi kompetensi absolut dapat diajukan kapan saja selama proses pemeriksaan perkara sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan dan majelis hakim karena jabatannya (ex officio) dapat menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara ini. Terhadap eksepsi kompetensi absolut hakim memutuskan dalam putusan sela bila menolak eksepsi kompetensi absolut, dan putusan akhir apabila eksepsi kompetensi absolut dikabulkan
ii. Eksepsi Kompetensi Relatif
Eksepsi kompetensi relatif adalah eksepsi yang berkaitan dengan kewenangan mengadili berdasarkan wilayah hukumnya atau dengan kata lain kewenagan antar satu pengadilan hubungan industrial dengan pengadilan hubungan industrial lainnya. Seperti kewenangan anatara pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Semarang, eksepsi ini diklasifikasikan dalam jenis eksepsi prosesuil.
Cara mengajukan eksepsi kompetensi relatif harus bersama-sama dengan jawaban pokok perkara, bila pada saat mengajukan jawaban Tergugat tidak mengajukan eksepsi relative maka hilang hak Tergugat untuk mengajukan eksepsi kompetensi relatif. Terhadap eksepsi kompetensi relatif majelis hakim memutus bersamaan dengan putusan pokok perkara.
iii. Eksepsi Lainnya diluar Kompetensi
Eksepsi lainnya diluar Kompetensi ada yang dapat diklasifikasikan dalam jenis eksepsi prosesuil dan eksepsi materiil. Cara mengajukan eksepsi ini adalah sama dengan mengajukan eksepsi terhadap kompetensi relative yaitu bersamaan jawaban pokok perkara, bila tidak maka hilang Tergugat untuk mengajukan eksepsi ini. Terhadap eksepsi ini para majelis hakim memutus bersamaan pokok perkara.
Eksepsi lainnya di luar Kompetensi adalah sebagai berikut :
- Eksepsi Surat Kuasa yaitu eksepsi yang berkaitan dengan sah tidaknya surat kuasa, seperti surat kuasa diberikan oleh orang yang tidak berwenang, surat kuasa bersifat umum dan sebagainya. Eksepsi surat kuasa ini dapat diklasifikasikan dalam jenis eksepsi prosesuil.
- Eksepsi Nebis in idem yaitu eksepsi yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa telah pernah diputus dan berkekuatan hukum tetap, atau dengan kata lain perkara yang sama tidak dapat diajukan dua kali. Eksepsi Nebis in idem ini dapat diklasifikasikan dalam jenis eksepsi prosesuil.
- Eksepsi litispetendi yaitu eksepsi yang berkaitan perkara yang sedang diperiksa pernah diajukan namun belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Eksepsi litispetendi ini dapat diklasifikasikan dalam jenis eksepsi prosesuil.
- Eksepsi Obscuur Libel yaitu eksepsi yang berkaitan dengan tidak jelasnya gugatan, seperti petitum gugatan tidak jelas, petitum bertentangan dengan posita, petitum tidak dibuat secara rinci, dan sebagainya. Eksepsi Obscuur Libel ini dapat diklasifikasikan dalam jenis eksepsi prosesuil.
- Eksepsi Plurium litis consortium yaitu eksepsi karena pihak yang digugat tidak lengkap atau penggugatnya tidak lengkap. Eksepsi Plurium litis consortium ini dapat diklasifikasikan dalam jenis eksepsi prosesuil.
- Eksepsi Diskwalifikator yaitu eksepsi yang berkaitan dengan pihak yang bertindak sebagai penggugat tidak kualitas sebagai penggugat. Eksepsi Diskwalifikator ini dapat diklasifikasikan dalam jenis eksepsi prosesuil.
- Eksepsi Dilatoir yaitu eksepsi yang berkaitan bahwa gugatan belum seharusnya diajukan, misalnya pekerja/buruh belum di PHK oleh pengusaha namun pekerja/buruh sudah mengajukan gugatan tentang PHK. Eksepsi Dilatoir ini dapat diklasifikasikan dalam jenis eksepsi materiil.
- Eksepsi Peremtoria/peremtoir yaitu eksepsi yang berkaitan dengan masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Misalnya perkara tersebut telah kadaluarsa. Eksepsi Peremtoria/peremtoir ini dapat diklasifikasikan dalam jenis eksepsi materiil
2.2. Dalam Pokok Perkara (Konvensi)
Dalam jawaban mengenai pokok perkarara dapat saja berisi Pengakuan, bantahan atau tidak bersikap terhadap gugatan (tindak mengakui juga tidak membantah). Bantahan dapat saja mengenai dalil-dalil atau alasan gugatan, tentang fakta-fakta atau peristiwa hukumnya atau juga menghenai bukti-bukti yang menjadi dasar gugatan. Bila jawaban berisi pengakuan maka pengakuan tersebut mempunyai nilai pembuktian yang sempurna (videpasal 174 HIR dan 1925 KUHPerdata, terhadap pengakuan tergugat didalam jawabanya tidak dapat ditarik kembali (vide Pasal 1926 KUHPerdata). Sedangkan bila jawaban berisi tentang sikap Tergugat yang tidak membantah juga tidak mengakui berarti Tergugat menyerahkan penilaiannya kepada majelis hakim.
2.3. Dalam gugatan Balik (Rekonvensi)
Gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan Tergugat tehadap Penggugat yang mengajukan gugatan kepadanya, yang diajukan pada saat Tergugat mengajukan jawan gugatan Penggugat. Dalam gugatan Rekonvensi Penggugat bertindak selaku Tergugat Rekonvensi dan Tergugat bertindak selaku Penggugat Rekonvensi. Tujuan diperbolehkannya mengajukan gugatan rekonvensi adalah untuk menghemat biaya dan waktu juga untuk menegakkan peradilan yang sederhana.
Yahya Harahap mengemukakan ada 3 syarat formil untuk mengajukan gugatan rekonvensi yaitu :
Gugatan rekonvensi harus diformulasikan secara tegas, dalam hal ini maksunya adalah bahwa gugatan rekonvensi harus dirumuskan secara jelas dalam jawaban dengan tujuan agar pihak penggugat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang ditujukan kepadanya.
Yang dianggap ditarik sebagai Tergugat Rekonvensi hanya terbatas Penggugat konvensi, dalamhal ini tidak mesti menarik semua Penggugat konvensi menjadi tergugat rekonvensi, dan juga dilarang menarik sesame Tergugat konvensi menjadi tergugat Rekonvensi.
Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban.
Dalam mengajukan gugatan rekonvensi ada pengecualian yaitu jika gugatan rekonvensi diajukan dalam hal :
- Jika Penggugat konvensi bertindak dalam kualitas tertentu, sedangkan gugatan rekonvensi diajukan kepada Penggugat dalam kapasitas selaku pribadi;
- Jika pengadilan hubungan industrial yang sedang memeriksa gugatan konvensi tidak berwenang untuk memeriksa gugatan rekonvensi dalam hubungannya dengan pokok perkara. Contoh gugatan konvensi diajukan mengenai Pemutusan hubungan kerja, gugatan rekonvensi mengenai gono gini yang belum dibagi;
- Jika gugatan rekonvensi mengenai perkara perselisihan putusan pengadilan atau tentang eksekusi;
- Tidak dapat mengajukan rekonvensi pada tingkat kasasi sementara pada tingkat pertama pemeriksaan di pengadilan hubungan industrial tidak mengajukan rekonvensi.
b. Persidangan ketiga Acara Replik
Replik adalah jawaban Penggugat terhadap jawaban Tergugat, dalam repli biasanya memuat mengenai dalil-dalil penggugat untuk mempertahankan gugatannya.
c. Persidangan keempat Acara Duplik
Duplik adalah jawan Tergugat terhadap replik Penggugat, dalam duplik biasanya memuat sangkalan-sangkalan Tergugat terhadap Replik Penggugat untuk mempertahankan jawabannya.
d. Persidangan Kelima Acara Pembuktian Penggugat
Untuk memperkuat dalil-dalil gugatanya penggugat pada siding kelima diberi kesempatan untuk mengajukan alat-alat bukti, seperti bukti surat, saksi, saksi ahli dan sebagainya. Untuk bukti surat yang diajukan oleh Penggugat adalah foto copy yang diberi materai dan cap oleh kantor pos (dinazegelen) yang kemudian aslinya dicocokkan dan dipertunjukkan kepada majelis hakim dan Tergugat. Saksi dan saksi ahli yang diajukan oleh Penggugat sebelum memberikan keterangan harus diambil sumpah atau janji sesuai dengan agamanya masing-masing.
e. Persidangan Keenam Acara Pembuktian Tergugat
Demikian juga halnya dengan Tergugat untuk memperkuat dalil-dalil jawabanya juga untuk memperkuat sangkalannya terhadap gugatan Penggugat pada persidangan keenam diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan alat-alat bukti sebagaimana Penggugat. Khusus saksi yang diajukan pengusaha memiliki hubungan kerja tetap diperbolehkan, namun dalam perakteknya untuk netralitas saksi maka saksi yang diajukan tidak menduduki jabatan Manager atau sederajat dengan manager dan atau jabatan diatas manager. Bukti surat yang diajukan oleh Tergugat juga adalah foto copy yang diberi materai dan cap oleh kantor pos (dinazegelen) yang kemudian aslinya dicocokkan dan dipertunjukkan kepada majelis hakim dan Penggugat.
Dalam hal tertentu majelis hakim dapat memanggil saksi atau ahli untuk dimintai keterangan yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa. Saksi atau saksi ahli yang telah dipanggil oleh majelis hakim wajib memenuhi panggilan tersebut, bahkan saksi atau saksi ahli tersebut harus memberikan keterangan tanpa syarat, kecuali bila saksi atau saksi ahli tersebut karena harkat dan jabatannya harus menjaga kerahasiaan maka harus ditempuh jalur sesuai undang-undang yang mengatur kerahasian tersebut, apabila saksi atau saksi ahli tidak memenuhi pangilan tersebut saksi atau ahli tersebut dapat dikenai pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 122 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dengan ancaman pidana kurungan paling singkat 1 bulan paling lama 6 bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
f. Persidangan Ketujuh Acara Kesimpilan (Conklusi)
Pada persidangan ketujuh para pihak diberi hak untuk mengajukan kesimpulan baik secara tertulis maupun secara lisan dimuka sidang. Kesimpulan adalah pendapat dan hasil-hasil persidangan berkaitan dengan permasalahan yang diperiksa, dan biasanya para pihak membuat kesimpulan hanya mengenai hal-hal yang menguntungkannya atau yang menguatkan dalil-dalilnya dan merugikan atau melemahkan dalil-dalil pihak lain. Mengajukan kesimpulan adalah bukan suatu kewajiban bagi para pihak dan Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak terikat dengan kesimpulan para pihak.
g. Persidangan Kedelapan Acara Pembacaan Putusan
Dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 50 hari kerja sejak siding pertama majelis hakim harus sudah memutus perkara tersebut. Dalamhal gugatan mengenai perkara perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan disertai perkara perselisih pemutusan hubungan kerja maka majelis hakim wajib memutus terlebih dahulu perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan.
Putusan majelis hakim dalam perkara perselisihan hubungan industrial harus dibaca dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam hal pembacaan putusan tersebut salah satu pihak tidak hadir dalam persidangan maka majelis hakim harus memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk menyampaikan isi putusan tersebut selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak putusan tersebut dibacakan.
Dalam putusan majelis hakim Pengadilan hubungan Industrial harus memuat hak yang harus diterima dan atau kewajiban yang harus dijalankan oleh oleh salah satu pihak atau para pihak. Putusan Pengadilan harus memuat setidaknya hal-hal sebagai berikut :
a) Kepala putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b) Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c) Ringkasan permohonan/penggugat dan jabatan termohon/tergugat yang jelas;
d) Pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan, hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa diperiksa;
e) Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f) Amar putusan tentang sengketa
g) Hari, tanggal putusan, nama hakim, hakim Ad-Hoc yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Putusan yang telah dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum maka dalam tenggang waktu 14 hari kerja setelah ditandatanganinya putusan tersebut panitera muda harus sudah menerbitkan salinannya. Hal ini ditujukan agar tidak merugikan para pihak, namun dalam peraktiknya ketika putusan dibacakan putusan tersebut masih dalam bentuk draf yang belum diketik dengan rapi, dan untuk pengetikan secara rapi oleh panitera penganti tidak ada batasnya dan kapan putusan asli ditandatangani oleh majelis hakim juga tidak ditentukan kapan tengaggan waktunya, sementara tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum kasasi dibatasi tenggang waktunya selambat-lambatnya 14 hari kerja bagi piahk yang hadir dihitung sejak putusan dibacakan sedangkan pihak yang tidak hadi sejak pemberitahuan isi putusan, sehingga hal ini akan mempersulit pemohon kasasi membuat memori kasasi yang merupakan suatu kewajiban bagi pemohon kasasi, untuk itu kedepannya penulis menyarankan agar tenggang waktu menerbitkan salinan bukan 14 hari tetapi 7 hari kerja sejak putusan dibacakan dalam persidangan bukan sejak putusan asli ditandatangani oleh majelis hakim, karena Panitera atau panitera muda harus mengirim salinan tersebut kepada para pihak selambat-lambatnya 7 hari sejak putusan ditandatangani, sehingga memberikan kepastian bagi para pihak.
B. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pada Pengadilan hubungan Industrial terhadap pemeriksaan perselisihan hubungan industrial dikenal adanya acara pemeriksaan dengan acara cepat (versnelde procedures) yang diatur dalam Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Apabila terdapat kepentingan para pihak atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan para pihak atau salah satu pihak, dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk pemeriksaan sengketanya dipercepat. Dalam hal ini yang dipercepat meliputi : Pemeriksaan perkara dan pengambilan putusan oleh majelis hakim.
Terhadap permohonan pemeriksaan yang diajukan para pihak atau salah satu pihak maka sikap pengadilan hubungan industrial adalah sebagai berikut :
- Dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak permohonan percepatan tersebut di ajukan maka Ketua Pengadilan Negeri harus memutus dalam penetapan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau ditolak
- Terhadap Penetapan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum
- Bila Permohonan pemeriksaan cepat dikabulkan maka dalam tengganga waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan tersebut maka ketua pengadilan negeri harus sudah menetapkan majelis hakim, hari, tanggal dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaant;
- Jawaban dan pembuktian masing-masing pihak tidak melebihi waktu 14 hari kerja
c. KESIMPULAN
1) Bahwa dalam menempuh upaya hukum secara litigasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka terlebih dahulu menempuh upaya hukum non litigasi yaitu Bipartit dan Tripartit.
2) Penyelesaian perselisihan yang sebelumnya melalui badan administrasi negara sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial maka beralih ke peradilan khusus dalam lingkungan peradilan umum, disamping penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase (penyelesaian di luar pengadilan).
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Prof. SH. Abdulkadir, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Harahap, M. Yahya, SH., 2005, Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, SH., 2007, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
Mulyadi, Lilik, SH., 1999, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Jehani, Libertus, SH.MH., 2006, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK, Visimedia, Jakarta.
Soesilo, R. 1995. RIB/HIR Dengan Penjelasannya. Politeia, Bogor.
Subekti, Prof.SH., R, & R.Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. Sri Mamudji. 2004. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.